
Perang
Salib adalah
gerakan umat Kristen di Eropa yang memerangi umat Muslim di
Palestina secara berulang-ulang mulai abad ke-11 sampai abad ke-13, dengan
tujuan untuk merebut Tanah Suci dari kekuasaan
kaum Muslim dan mendirikan gereja dan kerajaan
Latin di Timur. Dinamakan Perang Salib, karena setiap
orang Eropa yang ikut bertempur dalam peperangan memakai tanda salib pada bahu,
lencana dan panji-panji mereka.
Istilah
ini juga digunakan untuk ekspedisi-ekspedisi kecil yang terjadi selama abad
ke-16 di wilayah di luar Benua Eropa, biasanya terhadap kaum pagan
dan kaum non-Kristiani untuk alasan campuran; antara agama, ekonomi, dan
politik. Skema penomoran tradisional atas Perang Salib memasukkan 9 ekspedisi
besar ke Tanah Suci selama Abad ke-11 sampai dengan Abad ke-13. “Perang Salib”
lainnya yang tidak bernomor berlanjut hingga Abad ke-16 dan berakhir ketika
iklim politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan selama masa Renaissance.
Perang
Salib pada hakikatnya bukan perang agama, melainkan perang merebut kekuasaan
daerah. Hal ini dibuktikan bahwa tentara Salib dan tentara Muslim saling
bertukar ilmu pengetahuan.
Perang
Salib berpengaruh sangat luas terhadap aspek-aspek politik, ekonomi dan sosial,
yang mana beberapa bahkan masih berpengaruh sampai masa kini. Karena konfilk
internal antara kerajaan-kerajaan Kristen dan kekuatan-kekuatan
politik, beberapa ekspedisi Perang Salib (seperti Perang Salib Keempat)
bergeser dari tujuan semulanya dan berakhir dengan dijarahnya kota-kota
Kristen, termasuk ibukota Byzantium, Konstantinopel-kota yang paling maju dan kaya di
benua Eropa saat itu. Perang Salib Keenam
adalah perang salib pertama yang bertolak tanpa restu resmi dari gereja Katolik, dan menjadi contoh preseden yang
memperbolehkan penguasa lain untuk secara individu menyerukan perang salib
dalam ekspedisi berikutnya ke Tanah Suci. Konflik internal antara
kerajaan-kerajaan Muslim dan kekuatan-kekuatan politik pun
mengakibatkan persekutuan antara satu faksi melawan faksi lainnya seperti
persekutuan antara kekuatan Tentara Salib dengan Kesultanan Rum yang Muslim dalam Perang Salib Kelima.
Perang Salib I
Pada
musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa,
sebagian besar bangsa Perancis dan Norman[14], berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey,
Bohemond,
dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada
tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea
dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan County Edessa dengan Baldwin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka
dapat menguasai Antiokhia dan mendirikan Kepangeranan Antiokhia
di Timur, Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Baitul Maqdis (Yerusalem) pada 15 Juli 1099 M dan
mendirikan Kerajaan Yerusalem
dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Baitul Maqdis itu, tentara Salib
melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka
(1104 M), Tripoli (1109 M) dan kota Tyre
(1124 M). Di Tripoli mereka mendirikan County Tripoli, rajanya adalah Raymond.
Selanjutnya,
Syeikh Imaduddin Zengi
pada tahun 1144 M, penguasa Mosul dan Irak,
berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah,
dan Edessa. Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya
dilanjutkan oleh puteranya, Syeikh Nuruddin Zengi. Syeikh Nuruddin berhasil merebut
kembali Antiokhia pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151
M, seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Perang Salib II
Kejatuhan
County Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua.[16][17] Paus Eugenius III menyampaikan perang suci yang
disambut positif oleh raja Perancis Louis VII
dan raja Jerman Conrad
II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di
Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat
oleh Syeikh Nuruddin Zengi. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Conrad II sendiri
melarikan diri pulang ke negerinya. Syeikh Nuruddin wafat tahun 1174 M.
Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi
yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir
tahun 1175 M, setelah berhasil mencegah pasukan salib untuk menguasai Mesir.
Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerusalem pada tahun 1187 M, setelah beberapa
bulan sebelumnya dalam Pertempuran Hittin,
Shalahuddin berhasil mengalahkan pasukan gabungan County Tripoli dan Kerajaan
Yerusalaem melalui taktik penguasaan daerah. Dengan demikian berakhirlah
Kerajaan Latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir. Sehabis
Yerusalem, tinggal Tirus merupakan kota
besar Kerajaan Yerusalem yang tersisa. Tirus yang saat itu dipimpin oleh Conrad dari Montferrat berhasil sukses dari pengepungan yang
dilakukan Shalahuddin sebanyak dua kali. Shalahuddin kemudian mundur dan
menaklukan kota lain, seperti Arsuf
dan Jaffa.
Perang Salib III
Jatuhnya
Yerussalem ke tangan kaum Muslim sangat memukul perasaan
Tentara Salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Selanjutnya, Tentara Salib
dipimpin oleh Frederick Barbarossa
raja Jerman, Richard si Hati Singa
raja Inggris, dan Philip Augustus
raja Perancis memunculkan Perang Salib III.[18] Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M
dengan dua jalur berbeda. Pasukan Richard dan Philip melalui jalur laut dan
pasukan Barbarossa - saat itu merupakan yang terbanyak di Eropa - melalui jalur
darat, melewati Konstantinopel. Namun, Barbarossa meninggal di daerah Cilicia karena tenggelam di sungai, sehingga
menyisakan Richard dan Philip. Sebelum menuju Tanah Suci, Richard dan Philip
sempat menguasai Siprus dan mendirikan Kerajaan
Siprus. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, namun
mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan
Latin. Philip kemudian balik ke Perancis untuk "menyelesaikan"
masalah kekuasaan di Perancis dan hanya tinggal Richard yang melanjutkan Perang
Salib III. Richard tidak mampu memasuki Palestina lebih jauh, meski bisa beberapa kali
mengalahkan Shalahuddin. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian
antara Tentara Salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh al-Ramlah.
Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah
ke Baitul Maqdis tidak akan diganggu.[19]
Perang Salib IV
Pada
tahun 1219 M, meletus kembali peperangan yang dikenal dengan Perang Salib
periode keenam, dimana tentara Kristen dipimpin oleh raja Jerman, Frederik II,
mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari
orang-orang Kristen
Koptik. Dalam serangan tersebut, mereka berhasil menduduki Dimyath, raja Mesir
dari Dinasti Ayyubiyah
waktu itu, al-Malik
al-Kamil, membuat penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain
Frederick bersedia melepaskan Dimyath, sementara al-Malik al-Kamil melepaskan
Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim
bantuan kepada Kristen di Syria.
Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum
muslimin tahun 1247 M, pada masa pemerintahan al-Malik
al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya.
Ketika
Mesir dikuasai oleh Dinasti Mamalik yang menggantikan posisi Dinasti Ayyubiyyah,
pimpinan perang dipegang oleh Baibars, Qalawun,
dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Pada
masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum Muslim tahun
1291 M. Demikianlah Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak
berhenti di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam
terusir dari sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar